Senin, 29 April 2013 By: Muthia Audina

SERPIHAN KISAHKU :)

*senyum, salam, sapa.
          Nama saya Muthia Audina, panggilan saya Muthia, tetapi entah mengapa pada saat saya masuk perkuliahan sure name saya berubah jadi ‘uthi’, dan saya belum sangat terbiasa dengan panggilan seperti itu. Memang sejak dulu, dulu sekali, SD, SMP, SMA, panggilan saya berbeda semua. Kadang saya bingung sendiri, mulai dari muthi, cha mumut, thia, thi, dina, dan ada yang dengan sifat teganya memanggil saya dengan sebutan ‘udin’ (muthia aUDINa). Walah walah kok sadis sekali rasanya. Tetapi ada rasa tersendiri dengan hal-hal yang itu, bahkan merindukannya. Terserah mau memanggil saya seperti apa, asal itu masih dalam konteks yang sewajarnya. Hmm, ada keinginan dari dalam hati untuk dipanggil Audi, hehehehe, just kidding.
        Saya diberi kesempatan dari Yang Maha Agung untuk dapat merasakan bagaimana menghirup oksigen, memenangkan hidup di dunia maupun di akhirat nanti, tepatnya pada tanggal 20 Juni 1994, senin pagi.
Balik lagi soal nama, Ayah pernah bercerita apa alasan Ayah menabalkan Muthia Audina sebagai nama saya. Tidak jauh beda seperti pemain bulutangkis yang mempunyai nama Mia Audina, ceritanya seperti ini, pada saat ibu saya partus, Indonesia sedang bermain di laga badminthon, saya tidak tau jelas ajang apa yang sedang diperebutkan pada era 94 itu, yang pasti pemain tunggal putri Indonesia yang bernama Mia Audina sedang berlaga. Jadilah nama saya mirip sedikit dengan kakak Mia Audina tersebut. Harapan Ayah kemungkinan terbesar adalah menginginkan saya menjadi salah satu pemain tunggal putri milik Indonesia dalam kriteria is the best, sang pengharum bangsa dengan servisan-servisan hebat. Lagi-lagi itu hanya pemikiran liar saya. Kemarin-kemarin yang lalu, bulan, bahkan tahunan yang lalu, saya tidak sempat menanyakan hal itu pada Ayah. Dan kenyataannya sampai sekarang itu menjadi misteri yang tidak tahu kapan akan terkuaknya.
        Asal saya dari kota Padangsidimpuan, pantaskah saya mengatakan bahwa saya berasal dari sana? Permasalahannya adalah teman-teman SMA saya banyak yang menunjukkan sesuatu reaksi yang berlebihan tentang itu. Katanya saya tidak cocok, tidak pantas, apalah dan sebagainya. Tetapi sebenarnya saya bukanlah asli suku Mandailing. Ayah seorang yang bersuku Melayu, dan Ibu bersuku Jawa. Saya sejak umur satu hari sampai dengan delapan belas tahun bertempat tinggal di Padangsidimpuan, dan layaknya pisau, jika selalu diasa pasti akan semakin tajam. Seperti itulah saya, pisau yang diasa namun tempatnya tidak sesuai, saya tidak mahir berbahasa Melayu maupun Jawa, pengajaran orangtua tidak ada. Sampai-sampai saya pernah dijuluki teman bimbingan belajar saya saat di Medan “si batak”. Logat, bahasa, pembawaan, kararekter persis layaknya orang Mandailing katanya begitu. Padahal saya sendiri tidak menyadari itu.                        
 
*(makanya Muthia hidup ini harus sadar, banyak nggak sadarnya sihh)
        Ohhh sekolah tercinta saya, saya akan bercerita tentang sesuatu yang banyak mewarnai hidup saya dengan garis-garis indah, yang menempah saya menjadi Muthia Audina yaaa yang sebenarnya, menjadi anak, menjadi wanita yang sebenar-benarnya wanita, menjadi manusia, menjadi warga, menjadi, menjadi, menjadi, menjadi dan menjadi yang sebenar-benarnya sesuatu asset dunia dan akhirat. SMA NEGERI 3 PADANGSIDIMPUAN, yaa satu-satunya sekolah SMA saya, mau berapa lagi memangnya coba. Walaupun itu tidak sekolah favorit pada pemikiran kebanyakan siswa/i di sana, ohh akan tetapi   SMA N 3 PSP adalah sekolah yang sangat ‘wahhh’ bagi keluarga saya. Bayangin sajalah, satu keluarga bersekolah di sana, mulai dari si kakak sampai si adik. SMA 3 itu mendapat nilai plus dari Ibu saya, salah satunya adalah karena jarak. Si jarak tadilah yang menjadi musuh bagi saya. Alhasil, sejak SD-SMA jarak rumah dan sekolah paling jauh kira-kira tiga ratus meter. Dan kenyataan yang harus saya derita juga syukuri adalah sama sekali tidak tahu-menahu isinya Padangsidimpuan itu.                                                                                           
*(segala yang terjadi harus disyukuri, pasti ada hikmah yang tersirat/tersurat bagi orang-orang yang benar-benar berpikir)
        Rasanya saya sudah terlalu banyak cerita sesuatu yang memang mungkin itu tidak penting sama sekali. Saya adalah kumpulan sel-sel yang dibalut oleh jaringan, kemudian adanya organ, lalu sistem organ, jadilah saya, manusia yang bernamakan Muthia Audina, ciptaan Allah SWT yang kebaikan saya selalu berasal dariNYA, dan segala keburukan sesungguhnya memang dari diri saya sendiri. Hanya doa, usaha, tekad, tawakkal yang bisa mengikis segala keburukan-keburukan abstrak ataupun konkrit dari dalam diri.
Prestasi sewaktu sekolah, apakah saya harus melist semua prestasi-prestasi saya di bangku sekolah dulu untuk menggambarkan siapakah saya sebenarnya, who am I? Tidak perlu sebenarnya, karena sesungguhnya tidak ada yang sangat begitu “sesuatu”. Bukannya tidak ada kebanggaan atau penghargaan dari dalam diri. Masih ingat lekat-lekat di pikiran ini, Ibu pernah bilang, “yaaa memang kita dari yang kecil-kecil dulu, baru yang ukuran-ukuran besar”. Tetapi sekolah dengan kampus nggak bandinganlah, kalaupun mau dibandingi, sekolah pasti banting sekali. Dan mungkin sangat berbeda jauh, jauh, jauh sekali, dari mulai pergaulan, pengajar, organisasi, persaingan, belum lagi masalah anak perantauan. Kampuslah tempat yang benar-benar tempat untuk menempah diri, tempat orang-orang yang benar-benar berpikir. *(sekolah vs kampus)
Saya sekarang berada di lingkungan yang teori-teorinya kebanyakan memuja probabilitas, yang selalu melontarkan jawaban-jawaban “tergantung”. Yaa itu memang salah satu daftar mimpi-mimpi saya, mimpi-mimpi yang tak hanya tertulis dalam pikiran, dan sekarang barisan huruf-huruf yang merangkaikan mimpi saya itu sudah menjadi coretan bekas stabillo. Duluuu, banyak tantangan untuk tetap mempertahankan mimpi itu, beban mental menjadi sasaran atas perlakuan ketidaksetujuan orangtua. Padahal sekolah sangat bersedia untuk mendukung dari sisi mana saja, depan, belakang, kiri, kanan. Alhamdulillah sekali, Ibu akhirnya luluh dan memilih untuk mengalah demi keinginan yang sangat mendalam dari sang anak tercinta. Getting green light dari sosok yang untuk pertama kalinya mengisi kalbu. Kemudian tinggal menunggu hasil dari proses-proses indah yang tak terlupakan seumur hidup. Tahapannya dari semenjak perjuangan kelas X sampai XII. Lalu melarikan diri ke kota metropolitan kedua di Indonesia untuk mempertaruhkan kemenangan masa depan, masa depan layaknya bintang, bersinar, tinggi,yang sangat mempesonakan kebanyakan makhluk hidup. Ohh di bulan-bulan ketiga sampai empat abad 20an lebih 12 tahun, benar-benar bulan perang. Segala macam yang menurut pemikiran akan menghambat pencapaian the winning diABAIKAN. Teman-teman yang tetap memilih untuk tidak seperti saya, acap kali mengirimkan melalui pesan singkat sesuatu yang sebenarnya saya tidak ingin memperlakukan mereka seperti itu dan saya selalu hanya mengekspresikan sebuah senyuman saat membaca dari yang terlihat. Ternyata Sang Pencipta lebih cepat memutuskan saya harus bagaimana untuk masa depan saya. Saya lulus Jalur Undangan, dan mungkin memang menurutNYA perjuangan selama tiga tahun bersama guru-guruku tercinta, juga doa tulus Ibu, keluarga sudah cukup memberikan something. Hanya ada enam kata yang semangat loncat-loncat dalam pikiran maupun hati pada saat kemarin, sekarang, besok, lusa, nanti, atau kapanpun itu, yaitu kata 
“S-Y-U-K-U-R”.             
Kenapa memilih Psikologi?? Jawabnya ADALAH ketertarikan yang menarik saya masuk ke dalam dunia yang tanda kutip orang-orang awam masih sangat awam untuk mengenalnya. Harapan untuk ke depannya saya benar-benar(benarrrr-benarrrrr) memahami diri saya sendiri, nah dari sana kita dengan mudah memahami orang lain. Banyak sekali harapan, keinginan, mimpi, impian, cita, masa depan yang tak akan tertuliskan secara mendetail di sini. Semoga bisa mengabdikan diri dalam hal-hal yang baik untuk keluarga, masyarakat sosial, negara, anak-anak negaraku. Ilmu bermanfaat yang didapat dapat menjadi tiket kemenangan dunia dan akhirat. Dapat mengenal manusia ciptaanNYA yang hakikatnya sungguh-sungguh manusia, perilaku manusia yang bukan dibuat-buat, perilaku yang pantas menurut kita sendiri dan orang lain juga.
Mengukir soal kesenangan, saya adalah salah satu manusia yang kesenangannya tidak neko-neko, hahahaha, sok kalii awak. Saya senang sekali memasak (tahap belajar), gambar manga (masih dalam proses belajar), menulis atau berbicara dengan kata-kata yang berulang (kesenangan juga yaa???). Saya paling senang bersih-bersih, (ekhemmm===ètanda kutip). Ada lagi kesenangan saya, yang sekarang jabatannya sudah meningkat menjadi bagian komponen-komponen kebutuhan primer. Satu hari tanpa melakukan dan dilakukan pada saya, hari saya be unferfect, rasanya kehilangan beberapa jam dari yang sewajarnya jumlah jam dalam sehari. Kesenangan itu yakni mendengarkan orang bercerita apa saja tentang yang dirasa, dialami. Ada kepuasan tersendiri apabila kita  meringankan beban orang lain dengan cara mendengarkan, dan kitapun merasa termanfaatkan (sebaik-baiknya makhluk adalah yang dapat bermanfaat pada sesamanya). Yaa walaupun saya tahu beban itu tidak bakal lenyap begitu saja, setidaknya aliran pikiran terbuka, tidak tersumbat lagi. Satu lagi kesenangan agung saya (menurut saya), yaitu melihat anak-anak. Hanya melihat saja saya sudah senang. Huuu apalagi saya bisa membalas kesenangan saya dengan cara menyenangkan mereka. Ada something amazing, yang entah bagaimana memunculkannya dengan kata-kata jika melihat mereka dengan mata yang benar-benar mata. Saya suka senyuman yang selalu tampak. Suka dengan tangisan isak yang orangtuanya sendiri  jenuh mendengar itu, padahal tangisan anak itu suara musik alam yang indah. Celotehan yang menciptakan segumpalan rindu, suara-suara imut yang yang bersikeras mengatakan sesuatu agar orang-orang sekelilingnya mengerti. Mengucapkan bundaa, ndahh, mamak, mae, mengeluarkan suatu panggilan ayahh, paaa, bapak, tatak, dan beribu bahkan sejuta kata-kata planet milik mereka. Kejahilan yang kadang membuat kesal, jengkel, marah, tetapi tetap saja sangat menggemaskan, yang selalu membuat ketenang hati dan perasaan.

NB:
Tujuan utama saya masuk ke dalam dunia yang sekarang sedang saya jalani ini adalah yaaa itu tadi dia =====================è memuaskan kesenangan-kesenangan akbar saya.
Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah disisihkan untuk  membaca tulisan saya.

0 comments:

Posting Komentar