Kamis, 25 April 2013 0 comments By: Muthia Audina

LEBIH DEKAT DENGAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)


Rendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini. Pada usia 0-6 tahun anak perlu mendapat perhatian khusus karena saat inilah kesiapan mental dan emosionalnya mulai terbentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan, yaitu kesiapan mental dan emosional anak saat memasuki sekolah dasar.

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia nol sampai enam tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia empat tahun, 80% terjadi ketika usia delapan tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8-18 tahun. Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi, perkembangan kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi, dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka, faktor lingkungan harus direkayasa semaksimal mungkin agar kekurangan yang ditimbulkan faktor bawaan tersebut bisa diminimalisir.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan faktor terpenting yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Setidaknya terdapat enam aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain:
  • Perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.
  • Perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi.
  • Perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan.
  • Perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak.
  • Perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu.
  • Perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial. 
    Piaget mengidentifikasi 4 (empat) tahapan utama perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal.
    Tahap Sensorimotor (lahir – 2 tahun)
    Perkembangan kognitif bayi sampai kira-kira berusia 2 tahun pada umumnya mengandalkan observasi dari panca indera dan gerakan tubuh mereka. Satu tanda dari perkembangan ini adalah memahami objek tetap / permanen. Bayi berkembang dengan cara merespon kejadian dengan gerak refleks atau ’pola kesiapan’. Mereka belajar melihat diri mereka sebagai bagian dari objek yang ada di lingkungan.
    Tahap Pra-operasional (2 – 7 tahun)
    Pra-operasional ditandai oleh adanya pemakaian kata-kata lebih awal dan memanipulasi simbol-simbol yang menggambarkan objek atau benda dan keterikatan atau hubungan di antara mereka. Pemikiran atau sifat anak yang aneh /ganjil menunjukkan fakta bahwa mereka pada umumnya tidak mampu menunjukkan operations (eksploitasi) atau jika mereka bisa menunjukkan operation maka keadaannya akan terbatas. Mental operations pada tahap ini sifatnya fleksibel dan dapat berubah. Tahap pra-operasional ini juga ditandai oleh beberapa hal, antara lain: egosentrisme, ketidakmatangan pikiran / ide / gagasan tentang sebab-sebab dunia di fisik, kebingungan antara simbol dan objek yang mereka wakili, kemampuan untuk fokus pada satu dimensi pada satu waktu dan kebingungan tentang identitas orang dan objek.
    Tahap Concrete Operational (6 atau 7 th  – 12 tahun)
    Pada tahap konkrit operasional, penambahan dan pengurangan dalam hitung-hitungan bukan merupakan aktivitas yang mudah. Konkrit operasional anak mengenal bahwa ada hubungan antara angka-angka dan bahwa operasi dapat dilaksanakan menurut aturan tertentu. Pada tahap ini anak menunjukkan permulaan dari kapasitas logika orang-orang dewasa. Mereka mengerti aturan dasar dari logika. Bagaimanapun juga, proses berfikir, atau operasi, pada umumnya melibatkan objek yang kelihatan (konkrit) daripada ide yang abstrak. Egosentrisme pada tahap ini sudah mulai berkurang. Kemampuan mereka untuk menggunakan peran dari orang lain dan melihat dunia, dan mereka sendiri, dari perspektif orang-orang lain sudah berkembang dengan pesat. Mereka mengenal bahwa orang melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, karena perbedaan situasi dan perbedaan nilai. Mereka dapat fokus pada lebih dari satu dimensi pada beberapa waktu. Pada tahap ini juga sudah menunjukkan pemahaman akan hukum kekekalan (konservasi).
    Tahap Formal Operational ( 12 tahun ke atas)
    Tingkat operasi formal merupakan tahapan terakhir dari skema Piaget, yang merupakan tingkatan dari kedewasaan kognitif.  Formal operational biasanya dimulai pada masa pubertas, sekitar umur 11 atau 12 tahun. Akan tetapi tidak semua anak memasuki tingkatan ini pada saat pubertas, dan beberapa orang tidak pernah mencapainya. Tugas utama pada tahap ini meliputi kemampuan klasifikasi, berpikir logis, dan kemampuan hipotetis. Ada beberapa feature yang memberi remaja kapasitas lebih besar untuk memanipulasi dan menghargai lingkungan luar dan dunia imajinasi yang mencakup pemikiran hipotetis, penyelesaian masalah yang sistematis, kemampuan untuk menggunakan simbol dan pemikiran deduksi. Remaja dapat memproyeksikan dirinya pada situasi yang melebihi pengalaman mereka saat itu, dan untuk alasan itu, mereka terbungkus dalam fantasi yang panjang.

    *Pengertian PAUD
    Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Ini dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut pada jalur formal, nonformal, dan informal.
    Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
    PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)  ADALAH “SUATU UPAYA PEMBINAAN YANG DITUJUKAN KEPADA ANAK SEJAK LAHIR SAMPAI DENGAN USIA 6 TAHUN YANG DILAKUKAN MELALUI PEMBERIAN RANGSANGAN PENDIDIKAN UNTUK MEMBANTU PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JASMANI DAN ROHANI AGAR ANAK MEMILIKI KESIAPAN DALAM MEMASUKI PENDIDIKAN LEBIH LANJUT”  
    (UU No 20 Th 2003, Ps. 1, Butir 14)

    *Fungsi Pendidikan Anak Usia Dini
    Pendidikan Anak usia Dini sebagai wahana pembinaan anak usia 0- 6 tahun memiliki fungsi sebagai berikut :
    1. Pengganti sementara peranan ibu, peranan ibu dalam hal mengasuh dan membina anak selama 1 – 2 jam diganti peranannya oleh guru di kelompok bermain (misalnya). Sehingga guru kelompok bermain harus berperan sebagai ibu.
    2. Pembinan anak usia dini, mempersiapkan anak didik/ warga belajar sebelum memasuki pendidikan pada pendidikan dasar dengan pengembangan kemampuan dasar.
    3. Perlindungan, memperlakukan anak sesuai dengan usia perkembangannya dan dengan perlakuan yang wajar.
    4. Pengembangan watak, sikap kepribadian, sesuai dengan norma- norma yang berlaku di masyarakat melalui pembiasaan-pembiasaan dalam proses pembelajaran. 

    *Tujuan PAUD  
    Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini. Pertama, untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Kedua, untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1, rentang anak usia dini adalah 0-6 tahun. Namun, menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Adapun ruang lingkup Pendidikan Anak Usia Dini yaitu:
• Infant (0-1 tahun)
• Toddler (2-3 tahun)
• Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
• Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

PENDAPAT SAYA TENTANG PAUD DI INDONESIA
Menjamurnya pendidikan anak usia dini melalui pendidikan nonformal mengakibatkan tidak terkontrolnya penanganan terhadap anak-anak usia dini dengan baik, padahal masa emas tersebut merupakan masa-masa yang teramat penting dan tidak dapat datang untuk yang kedua kalinya dalam pembentukan otak, fisik dan jiwa seorang anak.
Hal ini menjadi semakin buruk lagi karena perubahan kebudayaan atau kebiasaan hidup ketika zaman kakek-kakek kita dahulu yang lebih mementingkan kebersamaan dalam sebuah komunitas, sehingga tumbuh kembang anak menjadi baik dengan sendirinya oleh berbagai rangsangan ketika mereka berinteraksi dengan komunitasnya untuk dapat memberikan rasa kasih sayang seutuhnya.


Saat ini budaya kita lebih cenderung menjadi individualistik, terbukti dengan banyaknya anak-anak kita yang seolah-olah hanya dirangsang dengan “maaf” didikan seorang pembantu, sebagai pengganti ibu-ibu yang bekerja membantu pencarian hidup keluarganya. Permasalahannya orang-orang tersebut atau pembantu belum mengerti betul tentang tumbuh kembang anak bahkan mereka juga tidak mengandung selama 9 bulan sebagai bentuk pembelajaran alam kepada seorang ibu, kasarnya tidak mempunyai hubungan batin yang kuat yang bisa memberikan kasih sayang seutuhnya.


Akibat perubahan pola hidup ini mengakibatkan perubahan pertumbuhan AUD, yang berdampak kepada semakin berkurangnya stimulasi-stimulasi awal yang amat dibutuhkan seorang anak pada masa emas tersebut. Sesungguhnya masa terpenting ini adalah merupakan tanggungjawab dari pendidikan keluarga bukan nonformal maupun formal, dan ini pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan dasar manusia. Akan tetapi dengan kenyataan tersebut diperlukan sebuah pendidikan awal yang diberikan oleh Pemeritah melalui pendidikan nonformal yang saat ini sudah dilakukan atau paling tidak segera mensosialisasikan dengan baik kepada masyarakat tentang pentingnya PAUD tersebut serta hal yang harus dilakukan agar dapat menyelamatkan generasi penerus bangsa ini sehingga mampu mempunyai daya saing tinggi atau paling tidak mampu menghadapi kehidupannya kelak dengan sebaik-baiknya dengan segala potensi yang telah terbangun dengan baik.


Saat ini pengembangan PAUD di Indonesia telah menimbulkan dilema, upaya untuk dapat memberikan pelayanan PAUD kepada setiap anak yang ada di Indonesia, akan tetapi banyak hal yang tidak dapat dipenuhi dengan semestinya. Dan ini bisa menyebabkan perkembangan anak yang tidak optimal sesuai dengan keinginan yang dituju, malah akan lebih membahayakan bila tidak ditangani secara cepat dan tepat karena semua ini berhubungan persiapan segenap potensi yang ada guna dapat membangun seorang insan manusia dalam mengarungi kehidupannya kelak.

Pertama, sesuai dengan PP 19 maka seluruh Pendidik PAUD minimal adalah strata satu.

Permasalahannya bagaimana mungkin dapat membuat S1 semua Pendidikan PAUD sejumlah 359 ribu orang (sumber data dari Ditjen PMPTK) orang untuk dapat melayani 28 juta orang anak usia dini. Bahkan persoalan selanjutnya adalah bahwa ternyata hampir sebagian besarnya merupakan lulusan dari SMP dan SMA, hanya sebagian kecil S1. Atau permasalahan selanjutnya adalah sedemikian pentingkah kualifikasi tersebut bagi seorang Pendidik PAUD ? Bahkan Prodi untuk khusus Jurusan PAUD hanya sedikit di Indonesia, bisa dihitung dengan jari, bagaimana mungkin dapat dikejar semuanya mengingat masa-masa emas anak-anak tersebut tidak bisa dihentikan waktunya. Berbeda dengan perencanaan Pemerintah yang memberikan waktu 10 tahun untuk mencapai PP tersebut. Sungguh ini amat berbahaya bila tidak secepatnya dicarikan upaya bagi anak-anak yang kita cintai itu.


Kedua, pembangunan kompetensi SDM dari Pendidik PAUD sebagai ujung tombak pengajar bagi anak-anak kita. Ini juga tidak boleh dilakukan setengah-setengah karena merekalah yang nanti akan membentuk anak-anak kita menjadi seperti apa kelak. Bila diharapkan dapat meningkatkan kompetensi mereka melalui diklat-diklat, maka pertanyaannya adalah seberapa baik kualitas dari diklat tersebut ? Seberapa banyak pemerintah mampu melakukan diklat terhadap Pendidik PAUD ? Bagaimana Pemerintah mampu untuk dapat melakukan percepatan dalam meningkatkan kompetensi mereka saat ini ?


Ketiga, aspek keibuan secara mental seorang pendidik PAUD, mereka pada dasarnya mereka belum mengerti aspek kejiwaan seorang anak secara kejiwaan karena mereka tidak mengandung atau mengerti rasanya mempunyai seorang anak. Sedangkan dari diklat mereka baru mengetahui tentang kemampuan membaca dan menulis atau kemampuan motoriknya juga aspek kejiwaan dari seorang anak secara teoritis. Sebagai ilustrasi seorang ibu yang diberikan hak asuh oleh Tuhan harus selama 9 (sembilan) bulan mengandung anaknya, waktu tersebut paling tidak akan memberikan pembelajaran kepada seorang wanita tentang arti mendidik seorang anak, seperti kesabaran, mengerti anak, psikologi anak, dan lain sebagainya dengan secara naluriah.


Dapat dibayangkan ketika mengatakan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan masa-masa penting dalam kehidupan seorang manusia baik untuk perkembangan otaknya, perkembangan motriknya bahkan perkembangan mentalnya, kita malah tidak memperhatikan SDM dari anak-anak kita yang mendidik anak kita, apakah ini tidak malah membahayakan tumbuh kembang anak kita ? Sudahkah dalam diklat-diklat tersebut diberikan sentuhan tentang arti sebagai Ibu bagi Pendidik PAUD? Sungguh kesemua ini membuat kita kuatir apabila tanpa ada perbaikan-perbaikan pendidikan anak usia dini kita diserahkan kepada mereka.


Keempat, kecilnya insentif yang diberikan kepada Pendidik PAUD, bahkan dibeberapa wilayah ada yang dibayar dengan menukarkan dengan beras, sayur mayur, dsb. Bahkan Pemerintah melalui Dit. PTK-PNF sampai saat ini baru bisa memberikan insentif sebesar 600 ribu per tahun, itu pun tidak semua Pendidik PAUD, masih amat terbatas. Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak-anak kita dengan baik, mereka sendiri sedang dalam kesulitan dalam hidupnya, ironis bukan.

Tersebarnya penanganan PAUD dalam berbagai instansi Pemerintah menyebabkan kurangnya koordinasi dengan baik, sehingga penanganannya terkadang menjadi tidak fokus atau bias atau tidak berkesinambungan.


Ada baiknya Pemerintah menyatukan keseluruhannya sebagai bentuk perhatian terhadap PAUD dengan membentuk Direktorat Jenderal khusus yang menangani PAUD ini. Sehingga semua bentuk program atau kegiatan akan terkoordinasi dengan baik dan dapat melakukan sebuah perencanaan yang lebih matang serta percepatan-percepatan untuk membangun PAUD ini.


Kelima, saat ini Pemerintah sepertinya lebih mengutamakan untuk dapat melayani anak usia dini sebanyak-bannyaknya atau berdasarkan kuantitas bukan kepada kualitas. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya karena pendidikan itu bukan sebuah pembangunan insan secara utuh, jadi sesungguhnya kedua-duanya tidak dapat dipisahkan. Jangan samakan pendidikan dengan kemiskinan, perbedaan keduanya amatlah besar, Tuhan menciptakan manusia semuanya mempunyai akal karena inilah perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Sedangkan kemiskinan merupakan sebuah skenario Tuhan bagi hambanya untuk berkehidupan di bumi ini, sampai kapanpun kemiskinan itu tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini karena merupakan bagian dari realita kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.


Ketika melakukan penanganan orang-orang miskin dengan lebih memilih kuantitas daripada kualitas kehidupannya, ini sah-sah saja dalam artian standar minimal kebutuhan seorang manusia untuk kehidupannya secara fisik sudah dapat diukur dengan baik. Apakah hal ini juga yang ingin kita lakukan terhadap anak-anak kita ? Padahal jelas bahwa setiap anak itu mempunyai keunikan dan bakat tersendiri per individunya. Bila ini terus dilakukan maka yang terjadi adalah sebuah pemasungan perkembangan insan seorang manusia yang telah diberikan haknya oleh yang Maha Kuasa.


Keenam, keberhasilan yang dilakukan dengan PAUD Pendidikan NonFormal tersebut ternyata berdampak dengan adanya sebutan “saling berebut lahan”, demikian sebutannya ketika adanya kecemburuan antara penanganan PAUD melalui formal, melalui TK, dengan penaganan PAUD melalui pendididikan nonformal seperti Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, dsb. Salah satu penyebabnya adalah karena program PAUD yang dilaksanakan oleh Dit. PAUD biayanya tidak mahal dibandingkan dengan program PAUD pada pendidikan formal bahkan sering kali gratis. Ini tidak terlepas dari curahan anggaran yang diberikan kepada PAUD NonFormal yang demikian luas tersebar dan cukup besar jumlahnya, walau tidak memperhatikan betul-betul standar-standar yang harus dipenuhi seperti jalur formal.


Faktor yang lain adalah bahwa sifat dari pendidikan nonformal ini menyebabkan setiap lapisan masyarakat yang peduli dan simpati dengan PAUD akan berlomba-lomba untuk dapat melaksanakannya, bahkan sebagian karena perhatian mereka terhadap komunitas mereka, demi masa depan anak cucu mereka mereka.

FAKTANYA :/
Kendati upaya memperbanyak jumlah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di tiap-tiap desa/kelurahan terus dilakukan, namun hal itu ternyata belum diimbangi kesadaran dari para orang tua untuk memasukkan anak balitanya ke dalam lembaga tersebut.
“Di Banyumas sudah terbentuk lembaga PAUD sebanyak 1.183 lembaga, baik yang formal maupun non formal.  Namun ternyata belum semua balita, khususnya yang usianya 0-3 tahun terwadahi ke dalam lembaga tersebut,” kata Kabid Pendidikan Non Formal (PNF) Dinas Pendidikan Banyumas, Siswoyo, Kamis (10/5).
Menurut dia, penyebabnya tidak lain lantaran kurangnya kesadaran dari orang tua.  Mereka masih beranggapan, anak balita belum perlu dimasukkan ke dalam lembaga PAUD, baik dalam bentuk kelompok bermain, tempat penitipan anak maupun yang lain.
Padahal pemerintah pusat menargetkan tahun 2015, di masing-masing kabupaten/kota, persentase balita berusia 0-6 tahun yang telah terwadahi ke dalam lembaga tersebut mencapai 75 persen. “Namun rata-rata kabupaten/kota di Jateng baru mencapai sekitar 31 persen,” ungkapnya.
Maka dari itu, lanjut dia, perlu dilakukan gerakan “booming” PAUD. Apalagi  hal itu sudah dijadikan sebagai gerakan nasional.  Gerakan ini dinilai penting, mengingat pendidikan usia dini merupakan pendidikan yang paling dasar. “Pendidikan anak usia dini dapat membentuk perilaku dan karakter anak, sehingga diperlukan,” ujar dia.
Lantaran muncul gerakan tersebut, maka perlu diimbangi dengan upaya pembinaan terhadap tenaga pendidiknya.  Guna memudahkan dalam pembinaan dan koordinasi, maka perlu dibentuk gugus PAUD.  Anggotanya terdiri atas PAUD formal dan non formal.
Sumber:  suaramerdeka.com