*senyum, salam, sapa.
Nama
saya Muthia Audina, panggilan saya Muthia, tetapi entah mengapa pada saat
saya masuk perkuliahan sure name saya berubah jadi ‘uthi’, dan saya belum
sangat terbiasa dengan panggilan seperti itu. Memang sejak dulu, dulu sekali,
SD, SMP, SMA, panggilan saya berbeda semua. Kadang saya bingung sendiri, mulai
dari muthi, cha mumut, thia, thi, dina, dan ada yang dengan sifat teganya
memanggil saya dengan sebutan ‘udin’ (muthia aUDINa). Walah walah kok sadis sekali rasanya. Tetapi ada
rasa tersendiri dengan hal-hal yang itu, bahkan merindukannya. Terserah mau memanggil saya seperti apa, asal itu masih dalam konteks yang sewajarnya.
Hmm, ada keinginan dari dalam hati untuk dipanggil Audi, hehehehe, just kidding.
Saya diberi kesempatan dari Yang Maha
Agung untuk dapat merasakan bagaimana menghirup oksigen, memenangkan hidup di
dunia maupun di akhirat nanti, tepatnya pada tanggal 20 Juni 1994, senin pagi.
Balik
lagi soal nama, Ayah pernah bercerita apa alasan Ayah menabalkan Muthia Audina
sebagai nama saya. Tidak jauh beda seperti pemain bulutangkis yang mempunyai
nama Mia Audina, ceritanya seperti ini, pada saat ibu saya partus, Indonesia
sedang bermain di laga badminthon, saya tidak tau jelas ajang apa yang sedang
diperebutkan pada era 94 itu, yang pasti pemain tunggal putri Indonesia yang
bernama Mia Audina sedang berlaga. Jadilah nama saya mirip sedikit dengan kakak
Mia Audina tersebut. Harapan Ayah kemungkinan terbesar adalah menginginkan saya
menjadi salah satu pemain tunggal putri milik Indonesia dalam kriteria is the
best, sang pengharum bangsa dengan servisan-servisan hebat. Lagi-lagi itu hanya
pemikiran liar saya. Kemarin-kemarin yang lalu, bulan, bahkan tahunan yang
lalu, saya tidak sempat menanyakan hal itu pada Ayah. Dan kenyataannya sampai
sekarang itu menjadi misteri yang tidak tahu kapan akan terkuaknya.
Asal saya dari kota Padangsidimpuan,
pantaskah saya mengatakan bahwa saya berasal dari sana? Permasalahannya adalah
teman-teman SMA saya banyak yang menunjukkan sesuatu reaksi yang berlebihan
tentang itu. Katanya saya tidak cocok, tidak pantas, apalah dan sebagainya.
Tetapi sebenarnya saya bukanlah asli suku Mandailing. Ayah seorang yang bersuku
Melayu, dan Ibu bersuku Jawa. Saya sejak umur satu hari sampai dengan delapan
belas tahun bertempat tinggal di Padangsidimpuan, dan layaknya pisau, jika
selalu diasa pasti akan semakin tajam. Seperti itulah saya, pisau yang diasa
namun tempatnya tidak sesuai, saya tidak mahir berbahasa Melayu maupun Jawa,
pengajaran orangtua tidak ada. Sampai-sampai saya pernah dijuluki teman
bimbingan belajar saya saat di Medan “si batak”. Logat, bahasa, pembawaan,
kararekter persis layaknya orang Mandailing katanya begitu. Padahal saya
sendiri tidak menyadari itu.
*(makanya Muthia hidup ini harus sadar, banyak nggak sadarnya sihh)
*(makanya Muthia hidup ini harus sadar, banyak nggak sadarnya sihh)
Ohhh sekolah tercinta saya, saya akan
bercerita tentang sesuatu yang banyak mewarnai hidup saya dengan garis-garis
indah, yang menempah saya menjadi Muthia Audina yaaa yang sebenarnya, menjadi
anak, menjadi wanita yang sebenar-benarnya wanita, menjadi manusia, menjadi
warga, menjadi, menjadi, menjadi, menjadi dan menjadi yang sebenar-benarnya
sesuatu asset dunia dan akhirat. SMA NEGERI 3 PADANGSIDIMPUAN, yaa satu-satunya
sekolah SMA saya, mau berapa lagi memangnya coba. Walaupun itu tidak sekolah
favorit pada pemikiran kebanyakan siswa/i di sana, ohh akan tetapi SMA N 3 PSP adalah sekolah yang sangat ‘wahhh’
bagi keluarga saya. Bayangin sajalah, satu keluarga bersekolah di sana,
mulai dari si kakak sampai si adik. SMA 3 itu mendapat nilai plus dari Ibu
saya, salah satunya adalah karena jarak. Si jarak tadilah yang menjadi musuh
bagi saya. Alhasil, sejak SD-SMA jarak rumah dan sekolah paling jauh kira-kira
tiga ratus meter. Dan kenyataan yang harus saya derita juga syukuri adalah sama
sekali tidak tahu-menahu isinya Padangsidimpuan itu.
*(segala yang terjadi harus disyukuri, pasti ada hikmah yang tersirat/tersurat bagi orang-orang yang benar-benar berpikir)
*(segala yang terjadi harus disyukuri, pasti ada hikmah yang tersirat/tersurat bagi orang-orang yang benar-benar berpikir)
Rasanya saya sudah terlalu banyak cerita
sesuatu yang memang mungkin itu tidak penting sama sekali. Saya adalah kumpulan
sel-sel yang dibalut oleh jaringan, kemudian adanya organ, lalu sistem organ,
jadilah saya, manusia yang bernamakan Muthia Audina, ciptaan Allah SWT yang
kebaikan saya selalu berasal dariNYA, dan segala keburukan sesungguhnya memang
dari diri saya sendiri. Hanya doa, usaha, tekad, tawakkal yang bisa mengikis
segala keburukan-keburukan abstrak ataupun konkrit dari dalam diri.
Prestasi sewaktu sekolah, apakah
saya harus melist semua prestasi-prestasi saya di bangku sekolah dulu untuk
menggambarkan siapakah saya sebenarnya, who am I? Tidak perlu sebenarnya,
karena sesungguhnya tidak ada yang sangat begitu “sesuatu”. Bukannya tidak ada
kebanggaan atau penghargaan dari dalam diri. Masih ingat lekat-lekat di pikiran
ini, Ibu pernah bilang, “yaaa memang kita dari yang kecil-kecil dulu, baru yang
ukuran-ukuran besar”. Tetapi sekolah dengan kampus nggak bandinganlah, kalaupun
mau dibandingi, sekolah pasti banting sekali. Dan mungkin sangat berbeda jauh,
jauh, jauh sekali, dari mulai pergaulan, pengajar, organisasi, persaingan,
belum lagi masalah anak perantauan. Kampuslah tempat yang benar-benar tempat
untuk menempah diri, tempat orang-orang yang benar-benar berpikir. *(sekolah vs
kampus)
Saya sekarang berada di
lingkungan yang teori-teorinya kebanyakan memuja probabilitas, yang selalu
melontarkan jawaban-jawaban “tergantung”. Yaa itu memang salah satu daftar
mimpi-mimpi saya, mimpi-mimpi yang tak hanya tertulis dalam pikiran, dan
sekarang barisan huruf-huruf yang merangkaikan mimpi saya itu sudah menjadi
coretan bekas stabillo. Duluuu, banyak tantangan untuk tetap mempertahankan
mimpi itu, beban mental menjadi sasaran atas perlakuan ketidaksetujuan
orangtua. Padahal sekolah sangat bersedia untuk mendukung dari sisi mana saja,
depan, belakang, kiri, kanan. Alhamdulillah sekali, Ibu akhirnya luluh dan
memilih untuk mengalah demi keinginan yang sangat mendalam dari sang anak
tercinta. Getting green light dari sosok yang untuk pertama kalinya mengisi
kalbu. Kemudian tinggal menunggu hasil dari proses-proses indah yang tak
terlupakan seumur hidup. Tahapannya dari semenjak perjuangan kelas X sampai
XII. Lalu melarikan diri ke kota metropolitan kedua di Indonesia untuk
mempertaruhkan kemenangan masa depan, masa depan layaknya bintang, bersinar,
tinggi,yang sangat mempesonakan kebanyakan makhluk hidup. Ohh di bulan-bulan
ketiga sampai empat abad 20an lebih 12 tahun, benar-benar bulan perang. Segala
macam yang menurut pemikiran akan menghambat pencapaian the winning diABAIKAN.
Teman-teman yang tetap memilih untuk tidak seperti saya, acap kali mengirimkan
melalui pesan singkat sesuatu yang sebenarnya saya tidak ingin memperlakukan
mereka seperti itu dan saya selalu hanya mengekspresikan sebuah senyuman saat
membaca dari yang terlihat. Ternyata Sang Pencipta lebih cepat memutuskan saya
harus bagaimana untuk masa depan saya. Saya lulus Jalur Undangan, dan mungkin
memang menurutNYA perjuangan selama tiga tahun bersama guru-guruku tercinta,
juga doa tulus Ibu, keluarga sudah cukup memberikan something. Hanya ada enam
kata yang semangat loncat-loncat dalam pikiran maupun hati pada saat kemarin,
sekarang, besok, lusa, nanti, atau kapanpun itu, yaitu kata
“S-Y-U-K-U-R”.
“S-Y-U-K-U-R”.
Kenapa memilih Psikologi??
Jawabnya ADALAH ketertarikan yang menarik saya masuk ke dalam dunia yang tanda
kutip orang-orang awam masih sangat awam untuk mengenalnya. Harapan untuk ke
depannya saya benar-benar(benarrrr-benarrrrr) memahami diri saya sendiri, nah
dari sana kita dengan mudah memahami orang lain. Banyak sekali harapan,
keinginan, mimpi, impian, cita, masa depan yang tak akan tertuliskan secara mendetail
di sini. Semoga bisa mengabdikan diri dalam hal-hal yang baik untuk keluarga,
masyarakat sosial, negara, anak-anak negaraku. Ilmu bermanfaat yang didapat
dapat menjadi tiket kemenangan dunia dan akhirat. Dapat mengenal manusia
ciptaanNYA yang hakikatnya sungguh-sungguh manusia, perilaku manusia yang bukan
dibuat-buat, perilaku yang pantas menurut kita sendiri dan orang lain juga.
Mengukir
soal kesenangan, saya adalah salah satu manusia yang kesenangannya tidak
neko-neko, hahahaha, sok kalii awak. Saya senang sekali memasak (tahap
belajar), gambar manga (masih dalam proses belajar), menulis atau berbicara
dengan kata-kata yang berulang (kesenangan juga yaa???). Saya paling senang
bersih-bersih, (ekhemmm===ètanda
kutip). Ada lagi kesenangan saya, yang sekarang jabatannya sudah meningkat
menjadi bagian komponen-komponen kebutuhan primer. Satu hari tanpa melakukan dan
dilakukan pada saya, hari
saya be unferfect, rasanya kehilangan beberapa jam dari yang sewajarnya jumlah
jam dalam sehari. Kesenangan itu yakni mendengarkan orang bercerita apa saja
tentang yang dirasa, dialami. Ada kepuasan tersendiri apabila kita meringankan beban orang lain dengan cara
mendengarkan, dan kitapun merasa termanfaatkan (sebaik-baiknya makhluk adalah yang
dapat bermanfaat pada sesamanya). Yaa walaupun saya tahu beban itu tidak bakal
lenyap begitu saja, setidaknya aliran pikiran terbuka, tidak tersumbat lagi.
Satu lagi kesenangan agung saya (menurut saya), yaitu melihat anak-anak. Hanya
melihat saja saya sudah senang. Huuu apalagi saya bisa membalas kesenangan saya
dengan cara menyenangkan mereka. Ada something amazing, yang entah bagaimana
memunculkannya dengan kata-kata jika melihat mereka dengan mata yang
benar-benar mata. Saya suka senyuman yang selalu tampak. Suka dengan tangisan
isak yang orangtuanya sendiri jenuh
mendengar itu, padahal tangisan anak itu suara musik alam yang indah. Celotehan
yang menciptakan segumpalan rindu, suara-suara imut yang yang bersikeras
mengatakan sesuatu agar orang-orang sekelilingnya mengerti. Mengucapkan bundaa,
ndahh, mamak, mae, mengeluarkan suatu panggilan ayahh, paaa, bapak, tatak, dan
beribu bahkan sejuta kata-kata planet milik mereka. Kejahilan yang kadang
membuat kesal, jengkel, marah, tetapi tetap saja sangat menggemaskan, yang
selalu membuat ketenang hati dan perasaan.
NB:
Tujuan utama saya
masuk ke dalam dunia yang sekarang sedang saya jalani ini adalah yaaa itu tadi
dia =====================è
memuaskan kesenangan-kesenangan akbar saya.
Terimakasih atas
waktu dan pikiran yang telah disisihkan untuk
membaca tulisan saya.